× -language-

×

view_list1.png Article     view_masonry.png Gallery     view_list2.png Videos    
×
  • url:
×
×
×
3 0 0 0 0 0
3
   ic_mode_light.png

Fenomena menarik kembali mencuri perhatian dunia sains. Sejumlah penelitian terbaru di bidang neurosains mengungkap bahwa emosi cinta memiliki kaitan erat dengan kemampuan otak untuk tumbuh dan beradaptasi, sedangkan kebencian cenderung menimbulkan efek sebaliknya. Temuan ini memunculkan perbincangan hangat di kalangan ilmuwan dan masyarakat umum, terutama karena menyinggung cara emosi manusia memengaruhi sistem saraf secara nyata.

Menurut penelitian yang dimuat di Frontiers in Human Neuroscience dan National Center for Biotechnology Information (NCBI), perasaan cinta—baik romantis maupun kasih sayang terhadap sesama—dapat mengaktifkan sistem dopaminergik di otak, yaitu bagian yang berperan dalam motivasi, kebahagiaan, dan pembelajaran. Aktivasi tersebut terbukti memperkuat konektivitas saraf atau yang dikenal dengan istilah neuroplastisitas, kemampuan otak untuk beradaptasi dan membentuk jalur-jalur baru ketika menerima pengalaman baru.

Para ilmuwan menyebutkan bahwa cinta bukan hanya emosi, melainkan mekanisme biologis yang membantu otak berfungsi lebih efisien. Aktivitas otak seseorang yang sedang jatuh cinta atau merasakan kasih sayang menunjukkan peningkatan signifikan pada area ventral tegmental area (VTA) dan caudate nucleus, dua bagian otak yang juga berperan besar dalam proses belajar dan pembentukan kebiasaan.

Sebaliknya, emosi negatif seperti kebencian atau dendam diketahui dapat memicu aktivitas berlebihan pada area insula dan medial frontal gyrus—wilayah yang berhubungan dengan stres dan respons ancaman. Stres kronis yang dihasilkan oleh kebencian dapat meningkatkan kadar hormon kortisol yang berlebihan, dan dalam jangka panjang dapat menurunkan kemampuan otak untuk membentuk koneksi baru. Dengan kata lain, otak yang terlalu lama berada dalam kondisi kebencian berpotensi “terkunci” dalam pola pikir yang sempit dan sulit berkembang.

“Cinta membantu otak kita tetap fleksibel dan terbuka untuk belajar, sementara kebencian menutup pintu perubahan,” ujar Dr. Andreas Bartels, salah satu peneliti yang melakukan pemindaian otak terhadap individu yang sedang jatuh cinta dalam studi yang diterbitkan oleh University College London. Ia menegaskan bahwa hasil ini tidak sekadar romantis, tetapi menunjukkan dampak nyata emosi terhadap mekanisme biologis manusia.

Walau demikian, para ahli juga menekankan bahwa cinta dan kebencian tidak sepenuhnya bersifat hitam-putih. Keduanya adalah bagian dari spektrum emosi manusia yang kompleks. Namun, memelihara cinta, empati, dan kasih sayang terbukti memberi efek positif bukan hanya pada hubungan sosial, tetapi juga pada kesehatan otak dan kemampuan berpikir jernih dalam jangka panjang.

Dengan temuan ini, para peneliti berharap masyarakat lebih sadar bahwa cara kita berpikir dan merasa memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi otak. Sains kini membuktikan bahwa cinta memang lebih dari sekadar perasaan—ia adalah bahan bakar biologis yang membantu otak tumbuh dan bertransformasi.

Sumber:
Frontiers in Human Neuroscience (2015)
National Center for Biotechnology Information (NCBI)
University College London Research on Love and the Brain

#BeritaViral #RisetOtak #CintaDanSains #Neuroplastisitas #Kebencian #KesehatanMental #PenelitianTerbaru #QuantumScience

❮ previous
next ❯
infodunia
+

banner_jasaps_250x250.png
<<
login/register to comment
×
  • ic_write_new.png expos
  • ic_share.png rexpos
  • ic_order.png order
  • sound.png malsAI
  • view_masonry.png grid
  • ic_mode_light.png light
× rexpos
    ic_posgar2.png x.png tg.png wa.png link.png
  • url:
× order
ic_write_new.png ic_share.png ic_order.png sound.png view_grid.png ic_mode_light.png ic_other.png
+
ic_argumen.png