× -bahasa-

×

view_list1.png Artikel     view_masonry.png Galeri     view_list2.png Video    
×
  • url:
×
×
×
6 0 0 0 0 0
6
   ic_mode_light.png

Banyak Gen Z merasa serba salah saat mencari kerja. Mereka sering dianggap overqualified karena pengalaman terlalu banyak, atau sebaliknya dianggap underqualified jika baru mulai belajar.

Bahkan posisi entry-level pun sering meminta S1 plus pengalaman dua tahun, sehingga banyak generasi muda bingung: sebenarnya perusahaan mencari kandidat seperti apa?

Kompas.com mewawancarai tiga Gen Z dari latar belakang berbeda—multimedia, administrasi, dan tenaga kesehatan—untuk mengupas arti “qualified” di dunia kerja saat ini.

1. Pandangan Fawwaz Mumtazy (23 tahun, multimedia)

• Menekankan bahwa qualified bukan soal gelar atau umur, tapi skill nyata dan bukti karya.
• Contoh di dunia kreatif: bukan sekadar bisa menggunakan Adobe, tapi bisa menunjukkan hasil video, storytelling, dan konsistensi karya.
• Attitude juga penting; orang jago tapi sulit diajak bekerja akan langsung kehilangan poin.
• Fawwaz mengalami dua posisi ekstrem: ditolak karena kurang pengalaman, tapi juga menolak posisi karena skill-nya terlalu basic.
• Ia menyoroti fenomena lowongan entry-level yang meminta pengalaman berlebihan: “Honestly itu wild,” karena HR kadang tidak memahami realitas talenta muda.

2. Pandangan Fajar Ridwan Wijaya (23 tahun, berbagai industri)

• Menganggap qualified adalah siap memberi nilai sejak hari pertama, bukan hanya memiliki gelar.
• Skill teknis dan portofolio yang bisa diuji lebih menentukan daripada titel akademik.
• Menyoroti masalah “lingkaran setan pengalaman”: magang sering minta pengalaman, padahal magang seharusnya untuk memperoleh pengalaman.
• Solusinya: perusahaan perlu mengakui proyek pribadi, kontribusi open-source, atau pekerjaan freelance sebagai pengalaman sah.
• Ia juga menyinggung perilaku perusahaan yang ingin kandidat terbaik tapi dengan harga termurah, yang menambah ketidakadilan di pasar kerja.

3. Pandangan Arya Fadillah (22 tahun, tenaga kesehatan)

• Di profesinya, pendidikan formal tetap krusial karena berfungsi sebagai legalitas profesional.
• Kualifikasi bukan hanya alat seleksi awal, tapi standar kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan.
• Arya pernah ditolak karena pendidikan atau portofolio dianggap kurang relevan.
• Ia menekankan pentingnya transparansi rekrutmen, termasuk kriteria dan timeline seleksi, agar proses lebih adil.

Kesimpulannya:

- Gen Z tidak menolak gelar, tapi mereka menginginkan standar kualifikasi yang jelas dan masuk akal.

- Di banyak sektor, portofolio, bukti kerja nyata, dan sikap kerja lebih menentukan daripada titel semata.

- Proses rekrutmen ideal seharusnya terbuka, adil, dan relevan: misalnya menggunakan trial, matriks penilaian, dan pengakuan proyek non-formal.

- Qualified artinya kecocokan antara kemampuan nyata, kebutuhan kerja, dan sistem rekrutmen yang adil, bukan sekadar memenuhi daftar syarat panjang atau memiliki titel.

[Kompas]

❮ sebelumnya
selanjutnya ❯
infodunia
+

banner_jasaps_250x250.png
<<
login/register to comment
×
  • ic_write_new.png expos
  • ic_share.png bagikan
  • ic_order.png urutan
  • sound.png malsAI
  • view_masonry.png grid
  • ic_mode_light.png light
× bagikan
    ic_posgar2.png x.png tg.png wa.png link.png
  • url:
× urutan
ic_write_new.png ic_share.png ic_order.png sound.png view_grid.png ic_mode_light.png ic_other.png
+
ic_argumen.png

Belum ada argumen, jadilah yang pertama